Penulis: Annisa Darma Yanti
Delapan puluh tahun sudah Indonesia berdiri sebagai bangsa merdeka. Sejak proklamasi 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa telah meletakkan cita-cita luhur tentang kemerdekaan, yang bukan sekadar bebas dari penjajahan politik, tetapi juga merdeka dalam pikiran, keyakinan, dan ibadah. Kemerdekaan ini ditegaskan dalam konstitusi, bahwa setiap warga negara berhak menganut agama dan keyakinannya serta beribadah sesuai dengan kepercayaannya. Namun, perjalanan bangsa tidak selalu mulus, kebebasan beragama dan berkeyakinan kerap diuji oleh arus intoleransi, radikalisme, dan polarisasi sosial.
Di titik inilah gagasan moderasi beragama hadir sebagai jalan tengah yang penuh harapan. Moderasi beragama bukan sekadar jargon, tetapi ia adalah ruh kebangsaan yang menyeimbangkan antara keteguhan iman dan penghormatan pada perbedaan. Dalam bahasa yang puitis, moderasi beragama adalah jembatan yang merangkai taman bunga keyakinan, sehingga setiap bunga, meski berbeda warna dan wangi, tetap tumbuh berdampingan tanpa saling menyingkirkan.
Merdeka dalam Iman, Merdeka dalam Perbedaan
Kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah salah satu pilar hak asasi manusia. Indonesia, dengan kemajemukan yang luar biasa, memiliki lebih dari 1.300 suku bangsa, ratusan bahasa daerah, serta berbagai agama dan aliran kepercayaan. Di tengah keragaman itu, Pancasila menjadi kompas moral yang meneguhkan bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan rahmat yang harus dirawat.
Namun realitas sosial menunjukkan bahwa kebebasan beragama di negeri ini masih menghadapi tantangan. Beberapa kelompok masih memandang perbedaan sebagai ancaman, bukan kekayaan. Laporan Setara Institute (2023) menunjukkan bahwa kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama masih terjadi di sejumlah daerah. Hal ini mengingatkan kita bahwa kemerdekaan yang telah berusia delapan dekade ini belum sepenuhnya tuntas, terutama dalam menjamin ruang aman bagi setiap individu untuk menjalankan keyakinannya tanpa diskriminasi.
Moderasi beragama hadir sebagai strategi kebangsaan yang menawarkan keseimbangan yakni setia pada ajaran agama masing-masing, namun tetap menghormati hak orang lain. Dengan kata lain, moderasi beragama bukanlah kompromi pada iman, melainkan penguatan cara beragama yang ramah, inklusif, dan penuh kasih sayang.
Moderasi Beragama sebagai Pilar Kebangsaan
Kementerian Agama Republik Indonesia sejak beberapa tahun terakhir menggaungkan pentingnya moderasi beragama. Empat indikator moderasi beragama yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap budaya lokal yang merupakan pondasi kokoh yang jika dijalankan sungguh-sungguh akan melahirkan masyarakat religius yang sekaligus humanis.
Moderasi beragama menjadi penting di era globalisasi yang serba cepat. Media sosial, misalnya, kerap memperkuat polarisasi dan menyebarkan ujaran kebencian berbasis agama. Di sinilah moderasi beragama harus menjadi tameng yang mengajarkan kesabaran, dialog, dan penghormatan. Seorang yang moderat tidak akan mudah mengkafirkan, menyesatkan, atau menghakimi. Sebaliknya, ia akan membuka ruang dialog dan mencari titik temu.
Dalam konteks HUT RI ke-80, moderasi beragama harus dipandang sebagai bentuk kemerdekaan baru yakni kemerdekaan dari belenggu kebencian dan fanatisme sempit. Seperti halnya para pejuang 1945 yang mengusir penjajah dengan persatuan, generasi hari ini dituntut melawan penjajahan modern berupa intoleransi dan ekstremisme.
Harapan di Usia ke-80 Tahun Indonesia
Indonesia yang berusia delapan puluh tahun adalah Indonesia yang matang, dewasa, dan bijaksana. Seperti pepatah lama, “tua bukan sekadar angka, melainkan hikmah dari perjalanan panjang.” Harapan kita adalah agar di usia yang ke-80 ini, bangsa ini tidak hanya merdeka secara politik, tetapi juga merdeka dalam berkeyakinan.
Merdeka berarti tidak ada lagi warga negara yang merasa takut menjalankan ibadahnya. Merdeka berarti setiap agama diperlakukan setara, tanpa diskriminasi dalam ruang publik maupun dalam pelayanan negara. Merdeka berarti setiap warga memiliki hak yang sama untuk mengekspresikan imannya, sejauh tidak melanggar hak orang lain.
Dalam kerangka ini, moderasi beragama harus menjadi strategi kolektif bangsa. Sekolah, masjid, gereja, pura, vihara, dan klenteng perlu menjadi pusat pendidikan moderasi, bukan sekadar tempat ritual. Media dan ruang digital perlu menjadi medium penyebaran narasi damai, bukan propaganda kebencian. Negara pun harus hadir dengan kebijakan yang adil, menegakkan hukum tanpa pandang bulu terhadap setiap bentuk intoleransi.
Penutup : Indonesia Rumah Bersama
Pada akhirnya, moderasi beragama adalah jalan panjang menuju cita-cita Indonesia sebagai rumah bersama. Rumah yang kokoh bukan karena seragam, melainkan karena mampu menampung segala perbedaan. Rumah yang nyaman bukan karena sunyi dari perdebatan, tetapi karena warganya tahu cara merawat perbedaan dengan kasih sayang.
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah momentum refleksi: sudahkah kita merdeka dalam beragama dan berkeyakinan? Jika belum, mari kita jadikan moderasi beragama sebagai obor yang menerangi jalan kebangsaan. Sebab bangsa ini tidak akan maju bila masih ada warganya yang dipinggirkan karena keyakinannya. Di usia ke-80, Indonesia harus benar-benar menjadi cahaya kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebab hanya bangsa yang mampu merawat keberagamanlah yang akan bertahan menghadapi masa depan.

